Minggu, 21 Februari 2016

Otak Sebagai Sumber Komunikasi Peradaban (Suatu Kajian Komunikasi Berspektif Integrated Science)

 Oleh Prof. Dr. Hj Nina Winangsih Syam, M.S
Terdapat dua alasan mengapa otak sangat penting bagi manusia. Pertama, secara biologis otak adalah “pusat” semua aktivitas tubuh, baik itu kegiatan disadari maupun tidak disadari. Kedua, secara simbolis, otak diposisikan pada bagian tubuh yang paling atas dan menempati posisi paling tinggi dari organ tubuh.
Kajian tentang otak dan kecerdasan manusia sangat penting dalam komunikasi peradaban, karena peradaban (komunikasi peradaban) menjadikan “mind” sebagai landasan berpijaknya. Berdasarkan hal ini, maka perdaban haruslah dikomunikasikan (dikonstruksikan/disosilaisaikan) oleh aktor-aktor peradaban yang memiliki tingkat kecerdasan yang komplit, yakni IQ, EQ, dan SQ. ditangan orang yang memiliki ketiga kecerdasan inilah akan lahir peradaban yang rahmatallilalamin. Sebaliknya tanpa memiliki ketiga kecerdasan tersebut maka peradaban yang akan dihasilkan adalah peradaban yang “pincang” dan akan hancur, seperti hancurnya negeri-negeri (peradaban-peradaban) tempo dulu yang telah digambarkan oleh Harun Yahya (2004) dalam bukunya Negeri-Negeri yang musnah.
Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah unsur penting dalam membangun peradaban. Sebagaimana banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung masalah ilmu yang tak kurang dari 780 kali lafadz di dalamnya.
Umat Islam sadar bahwa untuk membangun peradaban yang maju, tidak hanya mengandalkan ilmu agama, tetapi juga dengan pengetahuan sains modern. Oleh karena itu, menurut penulis, ada dua masalah penting yang harus diperhatikan umat Islam yakni :
a. Sains dan ilmu yang digeluti oleh umat Islam haruslah dikawal dengan Iman agar sains tersebut digunakan pada tempat dan tujuan yang tepat dan benar.
b. Islam telah mendorong kaum muslimin untuk melengkapi diri mereka dengan sains dan teknologi untuk menjamin kemerdekaan dan perkembangan masyarakat Islam demi menjaga aspek-aspek spiritual (QS. Al-Anfal ayat 6).


Komunikasi Peradaban (Berbasis Al-Quran dan Akal)
Terdapat perbedaan mendasar antara epistemologi barat dan epistemologi Islam. Ilmuan barat mengatakan bahwa yang termasuk science hanyalah ilmu-ilmu empiris. Sedangkan ilmuan muslim tidak hanya empiris, namun non empiris pun juga dikategorikan sebagai ilmu.
Dalam epistemologi Islam terdapat tiga metode ilmiah. Pertama empiris, yakni objek yang dapat diindra. Namun, menurut Ibnu Haitsam, indra memiliki keterbatasan, sehingga diperlukan alat bantu seperti teleskop dalam bidang astronomi. Kedua, burhani (logis). Metode yang dipakai untuk mengetahui objek nonfisik. Ketiga, intuitif (hati), adalah metode yang dipakai untuk mengetahui objek empiris maupun non empiris secara kontak langsung dengan objek yang hadir dalam diri seseorang.
Perbedaan epistemologi barat dan Islam ini member dampak pada ilmu pengerahuan yang dikembangkan. Barat yang hanya menggunakan empirisme dalam kajiannya menghasilkan sebuah science yang memisahkan hubungan antara tuhan dengan objek kajiannya. Pendekatan ilmu barat ini memberikan dampak negatif, yang ujung-ujungnya akan “memelesetkan” sang aktor intelektual ke lubang ateis.
Sekularisasi yang dilakukan oleh barat sangat sulit di counter oleh kalangan umat muslim karena belum ditemukannya perangkat rasional untuk menjawab tantangan barat. Untuk menanggapi hal ini, seorang cendekiawan muslim asal Indonesia, Dr. Mulyadi Kartanegara memformulasikan langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan yakni :
a. Naturalisasi ilmu, yakni proses akulturasi dari sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang baru ditanah baru.
b. “Islamisasi” sains, yakni semua ilmu yang ada diwarnai oleh umat Islam di wilayahnya masing-masing.
c. Renaisanse Ketiga, yakni dengan cara melakukan penerjemahan karya ilmiah dari seluruh penjuru negeri dan menghimpun sebanyak mungkin karya-karya ilmiah untuk dikaji, dianalisis, dan diterjamahkan sebaik mungkin.


0 komentar:

Posting Komentar